Selasa, 18 Januari 2011

Pemandangan suatu hari di Larantuka.

Eh pas mau beres-beres file di inbox ku kok sempet baca, artikel yg dulu di sharing sama temen.
Bagus juga sharing tersebut. Yan mengingatkan akan kebersamaan yang akhir-akhir ini mulai luntur.

Berikut ini saya postingkan, semoga menjadi kesejukan bagi pembaca yang budiman.
selamat menyimak.

*Pengalamanya sebagai kepala keluarga membentuk rasa solidaritas di dalam
dirinya.Rasa itu pula yang memacu dia untuk menjadikan rekan-rekan
senasibnya sebagai manusia berdaya.*


Suatu hari di Larantuka, NTT. Sebuah rumah dipadati oleh puluhan perempuan,
tua dan muda. Mereka tengah berdoa dengan melantunkan kidung-kidung pujian.
Tak lama kemudian, acara doa itu pun usai. Beberapa perempuan setengah baya
menghampiri seorang perempuan berjilbab. Memeluk dan membanjiri dia dengan
doa-doa penuh kasih. Diantara mereka bahkan ada yang menangis haru kala
melakukannya.

Nani Zulminarni tak mungkin melupakan peristiwa 5 tahun silam itu. Sebagai
seorang muslim, dirinya merasa kaget bercampur haru.Pikirnya, bagaimana bisa
mereka mau merayakan ulang tahunnyanya sekaligus mendoakan secara tulus
seseorang yang secara formal berbeda keyakinan dengan mereka? "Tapi itu
terjadi, dan saya sadar secara batin kami telah diikat dalam sebuah bentuk
persaudaraan yang melampau batas agama dan etnik,"ujar perempuan kelahiran
Ketapang, 10 September 1962 itu.

Rasa persaudaraan yang disebarkan oleh Nani berawal dari suatu tawaran di
tahun 2000. Saat itu, seorang rekannya di Komisi Nasional Hak Asasi
Perempuan (Komnas Perempuan), meminta tolong kepada dia untuk
mendokumentasikan kehidupan para janda korban konflik di seluruh Indonesia.
Tapi tidak serta merta Nani menerima permintaan itu. Dia malah
berpikir,"Kenapa hanya sekadar mendokumentasikan? Tidak lebih baikkah kalau
mereka sekaligus diberdayakan? "


Sebelum mengiyakan permintaan itu, Nani memutuskan untuk turun langsung
terlebih dahulu ke beberapa daerah konflik.Di Aceh, Maluku dan Kalimantan
Barat,Nani melihat kenyataan para janda korban konflik hidup dalam
penderitaan yang berlipat ganda. Selain harus melawan stigma sosial sebagai
janda, mereka juga harus menghidupi anak-anaknya, "Belum masalah menghadapi
trauma psikologis akibat pembantaian suami-suami mereka."

Nani sadar akan penderitaan mereka. Sebagai seorang yang baru bercerai, dia
pun dapat merasakan beratnya perjuangan mereka mengurus keluarga. "Saya yang
memiliki posisi agak baik dibanding mereka saja, merasa begitu berat secara
psikologis, hukum dan sosial, apalagi mereka"kata ibu dari tiga orang putera
itu.

Hampir di setiap kawasan, Nani menemukan masyarakat selalu menempatkan
janda dalam posisi yang sulit. Kontruksi sosial selalu mengaitkan para janda
hanya dengan status pernikahan dan nilai-nilai. Sedang posisi mereka yang
menjadi pengganti suami dalam menghidupi keluarga malah justru
ternafikan." Secara sosial, mereka tidak diakui sebagai kepala
keluarga,kendati tiap hari mereka bekerja cari kayu bakar ke hutan dan
melaut untuk menghidupi keluarganya, "ujar lulusan Fakultas Perikanan
Institut Pertanian Bogor (IPB) itu.

Itulah yang membuat Nani memutuskan untuk mengganti istilah "janda" dengan
pekka atau perempuan kepala keluarga.Istilah itu diambil Nani dari versi
bahasa Inggris "female headed house hold"."Saya memunculkan kata
itu,mengingat istilah janda sudah terlanjur berlumur tinta hitam,susah
sekali untuk membersihkannya, "tulis Nani dalam Jejak Air, sebuah buku
biografi politiknya.

Tidak hanya berwacana, pada Desember 2001 Nani meluncurkan sebuah program.
Dia memberinya nama Program Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga atau
disingkat Program Pekka.Hingga saat ini Program Pekka sudah mengkoordinasi
sekitar 10.000 rumah tangga di 8 provinsi.

Bentuk kegiatan Program Pekka meliputi berbagai hal. Mulai dari
pemberdayaan ekonomi para perempuan kepala keluarga hingga perajutan kembali
hubungan sosial di antara para perempuan korban konflik. Caranya antara lain
dengan, "Kami membentuk unit-unit usaha, membentuk koperasi dan menjalankan
unit simpan pinjam," ungkap Koordinator Nasional Program Pekka tersebut.


Semua aktifitas itu menjadikan para perempuan kepala keluarga menjadi
berdaya di masyarakat. Mereka tidak harus tergantung lagi kepada rasa belas
kasihan.Otomatis rasa percaya diri pun bertambah. Karena terbiasa diskusi,
beberapa perempuan kepala keluarga malah menjadi tokoh di lingkungan
masyarakatnya. Bahkan di sebuah desa di NTT, seorang perempuan yang aktif di
Program Pekka dipercaya masyarakat untuk memangku jabatan Kepala Desa.


Kendati sudah bisa dikatakan berhasil, tidak berarti Nani berpuas diri.
Bersama 32 tenaga lapangannya, tak jarang dia masih terjun langsung ke
daerah. Menurutnya, ada sebentuk kepuasan spiritual jika dia bertemu dan
bisa bertukar pandangan dengan sesama perempuan kepala keluarga."Kami memang
sudah seperti saudara yang saling menyintai,"katanya.

Ya, cinta memang telah menyatukan semua. Atas namanya, ribuan perempuan
dari ujung Barat hingga Timur merajut sebuah persaudaraan yang indah. Tanpa
kecurigaan, tanpa rasa benci. Tanpa batas suku, tanpa batas agama. Seperti
pemandangan suatu hari di Larantuka.

sumber : ngerumpi.comngerump i.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar